Jargon back to the city (kembali ke kota ) kembali digaungkan oleh pengembang apatemen (hunian) yang membangun produknya di tengah kota , terutama Agung Podomoro Group (APG). Konsep back to the city menggema seiring terjadinya pergeseran gaya hidup bagi kaum mapan. Di sejumlah kota besar di Indonesia , terutama Jakarta , kemacetan bukanlah hal yang aneh. Pasalnya, segala aktivitas ekonomi di Tanah Air bisa dikatakan berpusat di kota seluas sekitar 740 km² tersebut. Di sejumlah kota besar di dunia, konsep back to the city sudah cukup lama dikenal. Sama seperti di Jakarta, konsep tersebut sebenarnya untuk mengakomodir masyarakat kelas pekerja dan profesional. Alasannya sederhana, kelas pekerja dan profesional sudah merasa jenuh dengan beban transportasi yang dialaminya ketika harus berangkat dari rumah menuju tempat dia bekerja.
“Konsep tersebut lebih kepada memiliki hunian di tengah kota agar dekat dengan tempat beraktivitas (bekerja). Dengan memiiliki hunian di tengah kota, maka efektifitas dan efisiensi kerja dapat terjaga, dan sekaligus membantu mengurangi beban lalu lintas,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda kepada penulis. Menurut Ali, saat ini kebutuhan masyarakat kelas pekerja dan profesional untuk memiliki hunian di tengah kota besar sangat tinggi. Peluang tersebut yang kemudian ditangkap oleh pengembang sekelas APG dalam penyediaan hunian di tengah kota. Dia menambahkan, konsep back to the city tidak hanya menjadi sebuah tren pengembangan hunian di tengah kota, namun sudah menjadi kebutuhan. “Ini terlihat dari tingginya permintaan apartemen kelas menengah di tengah kota,” ujar dia.
Ali mengungkapkan, APG sangat jeli ketika melihat fenomena tersebut. APG, kata dia, kemudian dalam membangun apartemen di tengah kota selalu mengusung konsep inner city apartment. “Inner city apartment seharusnya muncul dari permintaan suatu wilayah yang sudah padat, nilai tinggi, dan pasar sewa yang besar (income base). Penentuan harga jual dan skema pembayaran menjadi pertimbangan selanjutnya untuk menangkap pasar end user,” jelas dia. Secara terpisah, Direktur Pemasaran APG Indra Widjaja Antono berpendapat, dalam lima tahun terakhir terjadi kejenuhan bagi kelas pekerja dan profesional yang tinggal di daerah pinggiran Jakarta. Kejenuhan tersebut bermula dari semrawutnya sistem transportasi yang ada.
“Anda bisa perhatikan, setiap tahunnya untuk mencapai lokasi kerja bukan semakin dekat malah semakin panjang. Panjang di sini bukan berarti jarak tempuh melainkan waktu tempuh yang lama akibat kemacetan lalu lintas,” kata Indra. Indra mengungkapkan, dalam membangun apartemen di tengah kota, APG tidak sekedar memikirkan hal komersial, tapi ada visi moral yang diemban oleh APG. “Jika untuk menuju tempat kerja saja sudah dilanda stres akibat macet, bagaimana dengan tingkat produktivitas kerjanya? Kalau tingkat produktivitas rendah, maka yang rugi bangsa ini juga,” ujar dia.
Pasokan Apartemen
Riset Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) menyebutkan, tahun ini terjadi peningkatan pasokan baru apartemen sebesar 16,35%, atau sebanyak 1.281 unit. Tahun lalu, total pasok apartemen di Jakarta mencapai 9.299 unit, untuk tahun ini diprediksi meningkat menjadi 10.580 unit. Direktur Eksekutif PSPI Panangian Simanungkalt mengatakan, dilihat dari wilayah sebarannya, wilayah Jakarta Selatan berada diperingkat pertama wilayah yang memiliki sebaran apartemen terbanyak, yakni sekitar 51,74%. Diikuti Jakarta Pusat 31,02%, Jakarta Barat 13,03%, Jakarta Timur 3,05%, dan Jakarta Utara 1,16%. “Untuk pasok memang mengalami peningkatan, namun untuk penyerapannya akan menurun dibandingkan tahun lalu. Penurunannya bisa mencapai 2,21%, atau dengan kata lain jumlah unit yang terserap sekitar 71,02% dari total pasok sebesar 10.580 unit,” ujar Panangian.
Belum lama ini, IPW telah melakukan analisis terhadap perkembangan apartemen menengah di Jakarta yang sebenarnya lebih dibutuhkan ketimbang kelatahan pengembang untuk membangun apartemen atas. Hasil analisis tersebut kemudian dijadikan oleh IPW sebagai bahan acuan untuk menentukan rating inner city development. Rating inner city development yang dipublikasikan oleh IPW telah menganugerahkan lima proyek inner city terbaik, dimana empat diantaranya merupakan proyek APG. Ke lima apartemen tersebut adalah Garden Mediterania (Grogol, Jakarta Barat), Sudirman Park KH Mas Manyur, Jakarta Pusat), Jakarta Residence (Jalan Kebon Kacang Raya, Jakarta Pusat), Gajah Mada Mediterania (Gajah Mada, Jakarta Barat, dan Taman Rasuna (HR Rasuna Said, Jakarta Selatan).
Dua Lingkaran
Berdasarkan analisis yang dilakukan IPW, terdapat dua bagian lingkaran kota untuk perencanaan inner city development, dimana lingkaran pertama diperuntukan bagi apartemen menengah lebih kurang dengan range harga Rp 300 juta – Rp 600 jutaan, sedangkan di lingkaran kedua yang merupakan area sekunder diperuntukan bagi apartemen menengah bawah atau rumah rusun (rusun) dengan harga Rp 130–300 jutaan, dengan asumsi semua terintegrasi dengan jaringan lalu lintas massal, termasuk busway. Ali Tranghanda mengatakan, pada lingkaran pertama pembangunan apartemen menengah meskipun terkendala harga tanah yang tinggi namun masih dimungkinkan untuk dibangun apartemen menengah dengan strategi subsidi silang proyek komersial atau pemanfaatan tanah-tanah Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) dengan skema kerja sama yang saling menguntungkan.
Skema yang ada akan memberikan keuntungan bagi pemerintah untuk dapat membangun rumah susun pada lingkaran kedua tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sehingga, lanjut Ali, selain rusun milik maka program rusun sewa dapat terealisasi untuk masyarakat berpenghasilan Rp 1,5 juta - Rp 2,5 jutaan. “Sebagai bagian dari perencanaan kota, pihak Pemprov DKI seharusnya dapat membuat blue print perencanaan proyek-proyek apartemen menengah termasuk rumah susun. Kemudian, lokasi-lokasi yang ada diharapkan dapat terintegrasi dengan jaringan lalu lintas termasuk busway dan adanya kelayakan dari aspek sosial dan ekonomi,” tegas Ali.
Rusun
Konsep back to the city sebenarnya secara tidak langsung juga ditangkap oleh pemerintah dengan mencanangkan Program 1.000 Menara Rusun. Selain untuk “merumahkan” kaum marginal, program tersebut secara tidak langsung untuk mendekatkan para pekerja ke tempatnya bekerja. IPW mencermati, ada catatan penting yang harus diperhatikan pemerintah ketika menggulirkan program tersebut. Pertama, perlu adanya perencanaan tata ruang bagi rumah susun, ke dua jangan terjadi konsentrasi pembangunan rusun dalam suatu lokasi yang dapat berakibat menurunnya minat masyarakat untuk membeli rusunami, ke tiga pertimbangan citra lokasi rusun jangan sampai berdampak pada penurunan nilai tanah di lingkungan sekitarnya. Ke empat, perlu dipertimbangkan aspek sosial dengan membuat kantong-kantong ekonomi di setiap lokasi rusun menengah bawah termasuk rusunawa untuk dapat memberikan nilai tambah bagi para penghuninya.
“Ke lima adalah, perlu dipertimbangkan skema lain dari pembiayaan rusun saat ini untuk menekan harga jual rumah susun yang saat ini sebesar minimum Rp 144 juta per unit. Ini akan sangat terkait dengan minat masyarakat menengah untuk mau membeli rusun tanpa persepsi kumuh,” jelas Ali Tranghanda. Nah, ketika konsep back to the city kembali menggema, pertanyaan terbesarnya adalah, bagaimana wajah Ibu Kota 10 tahun mendatang? Kita lihat saja.
“Konsep tersebut lebih kepada memiliki hunian di tengah kota agar dekat dengan tempat beraktivitas (bekerja). Dengan memiiliki hunian di tengah kota, maka efektifitas dan efisiensi kerja dapat terjaga, dan sekaligus membantu mengurangi beban lalu lintas,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda kepada penulis. Menurut Ali, saat ini kebutuhan masyarakat kelas pekerja dan profesional untuk memiliki hunian di tengah kota besar sangat tinggi. Peluang tersebut yang kemudian ditangkap oleh pengembang sekelas APG dalam penyediaan hunian di tengah kota. Dia menambahkan, konsep back to the city tidak hanya menjadi sebuah tren pengembangan hunian di tengah kota, namun sudah menjadi kebutuhan. “Ini terlihat dari tingginya permintaan apartemen kelas menengah di tengah kota,” ujar dia.
Ali mengungkapkan, APG sangat jeli ketika melihat fenomena tersebut. APG, kata dia, kemudian dalam membangun apartemen di tengah kota selalu mengusung konsep inner city apartment. “Inner city apartment seharusnya muncul dari permintaan suatu wilayah yang sudah padat, nilai tinggi, dan pasar sewa yang besar (income base). Penentuan harga jual dan skema pembayaran menjadi pertimbangan selanjutnya untuk menangkap pasar end user,” jelas dia. Secara terpisah, Direktur Pemasaran APG Indra Widjaja Antono berpendapat, dalam lima tahun terakhir terjadi kejenuhan bagi kelas pekerja dan profesional yang tinggal di daerah pinggiran Jakarta. Kejenuhan tersebut bermula dari semrawutnya sistem transportasi yang ada.
“Anda bisa perhatikan, setiap tahunnya untuk mencapai lokasi kerja bukan semakin dekat malah semakin panjang. Panjang di sini bukan berarti jarak tempuh melainkan waktu tempuh yang lama akibat kemacetan lalu lintas,” kata Indra. Indra mengungkapkan, dalam membangun apartemen di tengah kota, APG tidak sekedar memikirkan hal komersial, tapi ada visi moral yang diemban oleh APG. “Jika untuk menuju tempat kerja saja sudah dilanda stres akibat macet, bagaimana dengan tingkat produktivitas kerjanya? Kalau tingkat produktivitas rendah, maka yang rugi bangsa ini juga,” ujar dia.
Pasokan Apartemen
Riset Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) menyebutkan, tahun ini terjadi peningkatan pasokan baru apartemen sebesar 16,35%, atau sebanyak 1.281 unit. Tahun lalu, total pasok apartemen di Jakarta mencapai 9.299 unit, untuk tahun ini diprediksi meningkat menjadi 10.580 unit. Direktur Eksekutif PSPI Panangian Simanungkalt mengatakan, dilihat dari wilayah sebarannya, wilayah Jakarta Selatan berada diperingkat pertama wilayah yang memiliki sebaran apartemen terbanyak, yakni sekitar 51,74%. Diikuti Jakarta Pusat 31,02%, Jakarta Barat 13,03%, Jakarta Timur 3,05%, dan Jakarta Utara 1,16%. “Untuk pasok memang mengalami peningkatan, namun untuk penyerapannya akan menurun dibandingkan tahun lalu. Penurunannya bisa mencapai 2,21%, atau dengan kata lain jumlah unit yang terserap sekitar 71,02% dari total pasok sebesar 10.580 unit,” ujar Panangian.
Belum lama ini, IPW telah melakukan analisis terhadap perkembangan apartemen menengah di Jakarta yang sebenarnya lebih dibutuhkan ketimbang kelatahan pengembang untuk membangun apartemen atas. Hasil analisis tersebut kemudian dijadikan oleh IPW sebagai bahan acuan untuk menentukan rating inner city development. Rating inner city development yang dipublikasikan oleh IPW telah menganugerahkan lima proyek inner city terbaik, dimana empat diantaranya merupakan proyek APG. Ke lima apartemen tersebut adalah Garden Mediterania (Grogol, Jakarta Barat), Sudirman Park KH Mas Manyur, Jakarta Pusat), Jakarta Residence (Jalan Kebon Kacang Raya, Jakarta Pusat), Gajah Mada Mediterania (Gajah Mada, Jakarta Barat, dan Taman Rasuna (HR Rasuna Said, Jakarta Selatan).
Dua Lingkaran
Berdasarkan analisis yang dilakukan IPW, terdapat dua bagian lingkaran kota untuk perencanaan inner city development, dimana lingkaran pertama diperuntukan bagi apartemen menengah lebih kurang dengan range harga Rp 300 juta – Rp 600 jutaan, sedangkan di lingkaran kedua yang merupakan area sekunder diperuntukan bagi apartemen menengah bawah atau rumah rusun (rusun) dengan harga Rp 130–300 jutaan, dengan asumsi semua terintegrasi dengan jaringan lalu lintas massal, termasuk busway. Ali Tranghanda mengatakan, pada lingkaran pertama pembangunan apartemen menengah meskipun terkendala harga tanah yang tinggi namun masih dimungkinkan untuk dibangun apartemen menengah dengan strategi subsidi silang proyek komersial atau pemanfaatan tanah-tanah Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) dengan skema kerja sama yang saling menguntungkan.
Skema yang ada akan memberikan keuntungan bagi pemerintah untuk dapat membangun rumah susun pada lingkaran kedua tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sehingga, lanjut Ali, selain rusun milik maka program rusun sewa dapat terealisasi untuk masyarakat berpenghasilan Rp 1,5 juta - Rp 2,5 jutaan. “Sebagai bagian dari perencanaan kota, pihak Pemprov DKI seharusnya dapat membuat blue print perencanaan proyek-proyek apartemen menengah termasuk rumah susun. Kemudian, lokasi-lokasi yang ada diharapkan dapat terintegrasi dengan jaringan lalu lintas termasuk busway dan adanya kelayakan dari aspek sosial dan ekonomi,” tegas Ali.
Rusun
Konsep back to the city sebenarnya secara tidak langsung juga ditangkap oleh pemerintah dengan mencanangkan Program 1.000 Menara Rusun. Selain untuk “merumahkan” kaum marginal, program tersebut secara tidak langsung untuk mendekatkan para pekerja ke tempatnya bekerja. IPW mencermati, ada catatan penting yang harus diperhatikan pemerintah ketika menggulirkan program tersebut. Pertama, perlu adanya perencanaan tata ruang bagi rumah susun, ke dua jangan terjadi konsentrasi pembangunan rusun dalam suatu lokasi yang dapat berakibat menurunnya minat masyarakat untuk membeli rusunami, ke tiga pertimbangan citra lokasi rusun jangan sampai berdampak pada penurunan nilai tanah di lingkungan sekitarnya. Ke empat, perlu dipertimbangkan aspek sosial dengan membuat kantong-kantong ekonomi di setiap lokasi rusun menengah bawah termasuk rusunawa untuk dapat memberikan nilai tambah bagi para penghuninya.
“Ke lima adalah, perlu dipertimbangkan skema lain dari pembiayaan rusun saat ini untuk menekan harga jual rumah susun yang saat ini sebesar minimum Rp 144 juta per unit. Ini akan sangat terkait dengan minat masyarakat menengah untuk mau membeli rusun tanpa persepsi kumuh,” jelas Ali Tranghanda. Nah, ketika konsep back to the city kembali menggema, pertanyaan terbesarnya adalah, bagaimana wajah Ibu Kota 10 tahun mendatang? Kita lihat saja.
em, aku mau minta izin, artikel tentang kerajaan romawi aku copy yak..
BalasHapusmakasih banyak,
sangat membantu :)